Minggu, 10 November 2013

Kiprah Richard Berry Ginting


Angkat Budaya Batak Lewat "Moro-Moro Toba"



Berawal dari hobi motret pemandangan alam dan kebudayaan di danau toba, membuat Richard Berry Ginting kini doyan menghabiskan waktunya untuk mempromosilkan adat budaya batak yang kental melekat di Sumatera Utara. 

Danau Toba yang menjadi ikon pariwisata Sumatera Utara ini menjadi  daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal maupun mancanegara tidak henti-hentinya datang untuk berkunjung sekedar melihat pemandangan alamnya termasuk budaya nya yang sudah mendunia.


Salah satu daerah yang masih menjadi primadona wisata yang menarik yakni Tuk-Tuk di Pulau Samosir. Seperti yang ketahui keunikan dari Pulau Samosir yaitu berada di tengah-tengah Danau Toba. Selain daerahnya yang tenang, sejuk dan nyaman, Tuk-Tuk khas budaya batak masih sangat terasa kental. Kesenian-kesenian batak seperti tari Tor-Tor, rumah adat, hingga ukiran-ukiran yang ada dirumah adatnya merupakan peninggalan budaya yang masih dapat dilihat di Tuk-tuk.

Ketertarikannya terhadap budaya batak membuat Richard Berry Ginting yang akrab dipanggil Richard mengangkat motif Gorga yakni ukiran-ukiran yang terdapat di rumah adat Batak menjadi corak pakaian.

Ukiran-ukiran Gorga sangat menarik dan unik. Selain itu, motif Gorga dipilih karena motif ini memiliki lebih banyak jenis dan variannya dibanding ukiran-ukiran lain. sangat disayangkan jika ukiran-ukiran tersebut tidak banyak dikenal oleh masyarakat luas” ujar  Richard saat di temui di Medan.

Bersama dengan ketiga orang temannya dan dibantu oleh dua orang seniman asli Gorga, pria kelahiran 14 Oktober 1983 ini pun mulai mengangkat budaya Batak melalui desain clothing yang diberi nama “Moro-Moro Toba”.  Hasil karya nya pun kini mendapat respon yang positif serta dukungan dari masyarakat yang tinggal di daerah Tuk-tuk. 
 
Richard menceritakan , bahwa kata ‘Moro-Moro’ sendiri diambil dari bahasa Finlandia yang artinya ‘Horas’ dalam bahasa Batak. Pemberian nama itu didasarkan dari hasil pengamatan mereka terhadap turis dari mancanegara terutama Finlandia yang sangat mencintai Tuk-Tuk karena kebanyakan turis yang datang ke Tuk-Tuk berasal dari Finlandia. Bahkan mereka menjadikan Tuk-tuk menjadi negara kedua mereka.

“Waktu saya ketemu turis Finlandia, Mereka bilang kaos Moro-Moro Toba mewakili budaya Batak. Saya pun mulai yakin melalui kaos Moro-Moro Toba ini budaya Batak dapat lebih dikenal oleh wisatawan lokal maupun Internasional” ujar Richard yang juga alumni USU ini.

Saat ini impian terbesar bagi Richard adalah mengangkat Gorga menjadi salah satu ikon untuk menjaring wisatawan dan mengangkat Tuk-Tuk sebagai salah satu destinasi wisata utama di Sumatera Utara.

Selain itu, prestasi yang kini patut di banggakan baginya, Marsada Band yang merupakan band Batak yang mengangkat musik-musik Batak  akan memulai turnya ke berbagai negara di benua Eropa di dalam bulan ini juga dengan mengenakan baju Moro-Moro Toba dalam turnya sebagai ciri khas dari budaya Batak. 
  
“Saya pun kini lebih yakin, budaya batak beserta seni ukiran-ukirannya tidak hanya dikenal oleh masyarakat setempat maupun masyarakat Indonesia saja, namun akan dikenal hingga ke Mancanegara” katanya lagi.

Dirinya pun menambahkan, untuk di jual kepada wisatawan harga satu pakaian Moro Moro di jual seharga Rp 100.000 – Rp 200.000 tergantung jenis motif dan ukiran, dan dapat di beli di gerai yang terdapat di daerah Tuk Tuk, namun yang menjadi lebih penting baginya tidak lah mengejarkan profit namun bagaimana kebudayaan batak lebih di kenal sampai ke mancanegara. Rholand Muary



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

“Sumut Paten” dalam Analisa Wacana Kritis

Sumut Paten, kini sudah menjadi jargon politik dan ciri khas dari Gubernur Sumatera Utara, Ir. HT. Erry Nuradi, M.Si. Dalam berbaga...