Selasa, 01 Maret 2016

GAFATAR : Diantara Sesat dan Mimpi Membangun Negeri




Organisasi Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR) yang dianggap “Menyimpang” dari ajaran agama Islam ternyata sudah resmi membubarkan diri pada 13 Agustus 2015, pembubaran organisasi berlambang matahari ini tidak terlepas dari fatwa “Sesat” yang sudah disematkan oleh MUI di beberapa daerah di Indonesia, termasuk di Nanggroe Aceh Darusalam (NAD). Dan pada tanggal 3 February 2016 yang lalu, MUI pusat secara resmi, juga telah memberikan label “Sesat” pada Gafatar dan para anggotanya pun dianggap murtad

Sejarah perjalanan mereka, stigma Sesat dan membubarkan diri, ternyata tidak mengurangi semangat untuk mantan anggota Gafatar membangun negeri Indonesia. Mereka mengambil pilihan berani untuk melanjutkan program kemandirian dan kedaulatan pangan (PKP) di tanah Borneo, sebagai salah satu hasil rekomendasi kongres luar biasa Gafatar pasca membubarkan diri, atau pilihan kedua, kembali ke aktivitas semula dengan pekerjaannya masing-masing.

Isu Gafatar dianggap menyimpang dimulai dengan kasus hilangnya dr Rica bersama anaknya tanpa alasan yang tidak jelas kepada keluarga. Pihak kepolisian pun mencari keberadaan dr Rica dan ternyata dia berada di Mempawah Kalimantan Barat dan ikut bersama ribuan masyarakat meneruskan program eksodus ke kalimantan Barat meneruskan cita-cita Eks Gafatar. 

Ibarat Bensin tersulut Api, media pun memberitakan banyaknya kasus orang hilang diduga karena ikut program Gafatar, dan membangun opini masyarakat dan negara bahwa Gafatar adalah organisasi yang menyimpang bin sesat ditandai dengan beberapa perilaku orang hilang karena gafatar tidak menunjukkan perilaku normal pada umumnya. Dalam persoalan Gafatar, masyarakat maupun negera harus melihat secara keseluruhan dan membagi dalam dua sisi, sisi pertama pada dimensi keyakinan spiritual dan pada dimensi pembangunan sosial

Apakah Gafatar Sesat?

Mantan Ketua umum Gafatar, Mahful Muis Tumanurung sudah menyampaikan kepada publik, bahwa dalam dimensi spiritual, Eks Gafatar mempunyai pemahaman spiritual sendiri, dan keluar dari ajaran Islam mainstram. Dia pun mengakui bahwa Ahmad Musadeq sebagai guru spiritual dan membangun paham Milah Abraham dengan semangat nilai-nilai universal bersumber dari tuhan yang satu, tuhan semesta alam. Mereka pun enggan dianggap sesat oleh MUI karena akan berdampak sosial bagi pengikutnya ketika kembali dan pulang ke wilayahnya masing masing.

Dalam kajian Sosiologi agama, Gafatar bukan lah kelompok keagamaan yang baru, sebenarnya mereka bagian dari konsep New Religious Movement  atau gerakan agama baru, yang awal munculnya pasca perang dunia kedua. Secara sederhana gerakan agama baru dimaknai sebagai gerakan non arus utama agama besar dunia. Gerakan ini diilhami oleh individu kharismatik tertentu atau sekumpulan ajaran dari suatu latar religius kultural yang diambil dari bagian agama-agama dan kepercayaan- kepercayaan yang ada di dunia. 



Eropa, USA dan Amerika Utara mengambil praktik-praktik dan ide-ide keagamaan Timur, kebanyakan berasal dari anak benua India meliputi Brahma Kumaris, Hare Krisna, Rajneeshism (Osho), Yoga dan Sai Baba. Beberapa gerakan keagamaan baru dikaitkan dengan ajaran pimpinan keagamaan seperti Ron Hubbard (Scientology), Moses David (Children of God or the Family), John Wimber (Vineyard Christian Fellowship), dan Maharishi (Transendental Meditation) dan kemudian berkembang ke Amerika Latin dan Asia Tenggara.

Munculnya gerakan agama baru ini , pertama tidak terlepas dari bentuk resistensi masyarakat modern yang materialisme, utilitarian, individualisme dan menggunakan teknik rasional dari ilmu pengetahuan yang mendominasi suatu kultur masyarakat. Kedua, adanya dominasi secara ilmiah dan sosial dapat merusak tekanan dalam diri individu, tanggung jawab personal dan hilangnya pandangan hidup tradisional dalam masyarakat. 

Ketiga, kemunduran dalam agama-agama atau aliran Ketuhanan dalam kehidupan individu dan berkembangnya perspektif sosial terhadap sesuatu yang ilmiah, sehingga kesemuanya itu memberikan sebuah eksperimen yang sangat berarti di dalam semua segi kehidupan, termasuk politik dan gaya hidup (life-style) dan juga agama sebagai respon dari dehumanisasi akibat kemajuan teknologi. Keempat, terbuka terhadap gagasan dan cara pemikiran baru. Kelima, adanya kekecewaan atau keprihatinan terhadap sistem sosial modern dan kehidupan urban yang impersonal atau individualistik.

Dalam masyarakat era Post-Modernisme, ada rasa haus yang luar biasa terhadap kebutuhan Spiritualitas sebagai respon sosial,budaya, politik dan mereka akan mencari bentuk yang baru diluar ajaran agama mainstream. Fatwa Sesat MUI yang didasarkan pada sepuluh kriteria sepertinya tidak akan memberikan jawaban dan solusi terkait Eks Gafatar karena negera Indonesia pun menjamin kebebasan beragama, berkeyakinan dan kepercayaan masing-masing sesuai dengan UUD 45 dan pancasila sepanjang mereka tidak melanggar konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Mimpi Membangun Negeri

Ormas Gafatar mempunyai cita cita membangun negeri Indonesia yakni membangun tatanan masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan yang maha esa dengan cara pembinaan mental spiritual, merangkul semua elemen, bekerja sama dengan berbagai pihak, aksi-aksi sosial dan peningkatan ilmu dan intelektual di tengah masyarakat dan menanamkan spirit kebangsaan yang sanggup berkorban harta dan jiwa untuk membangun bangsa dan tanah air berdasarkan semangat pancasila.

Namun kasus Gafatar kian mengubur mimpi mereka untuk membangun negeri, tidak hanya diisukan sesat, bahwa eks Gafatar juga disebut-sebut negera berencana membangun negara sendiri di tanah Kalimantan melalui program kemandirian dan kedaulatan pangan. Program kedaulatan dianggap penting bagi mereka karena pertanian menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat banyak.
Sosiolog Amerika, Robert N Bellah dengan gagasan Civil Religion di Amerika, dimaknai sebagai bentuk integrasi sosial yang luas dalam sebuah sistem keagamaan sebagai identitas dan solidaritas nasional dari agama. Pancasila sebagai dasar negera disebut juga sebagai civil religionnya Indonesia karena pemahaman tentang Tuhan yang esa terintegrasi dengan semangat membangun moral individu, bangsa dan negera. 


Pancasila sebagai benteng sekaligus filter untuk menolak paham yang dapat merusak eksistensi negera Indonesia seperti, radikalisme, ekstremisme, fundamentalis dan kelompok-kelompok intoleran yang dapat menganggu sistem berbangsa dan bernegara.  Dalam kasus Gafatar sebenarnya, negera harus memberikan intervensi positif dalam upaya gafatar menterjemahkan semangat dan nilai-nilai pancasila itu sendiri.

Dalam berbagai kesempatan, Eks Gafatar selalui meminta ijin kepada negera agar mereka diberikan kesempatan membangun negeri ini, jalan terakhir yang dilakukan adalah program hijrah ke Mempawah Kalbar dengan membangun program kedaulatan pangan. Mayoritas eks gafatar yang eksodus umumnya berasal dari Jawa. Mereka terkesan tidak lagi diterima di lingkungannya dan rela menjual harta yang dimiliki demi sebuah mimpi meningkatkan derajat mereka dan membangun negeri, hal ini juga tidak terlepas dari kondisi pembangunan yang cenderung industrialis, sulitnya lapangan kerja, dan lahan pertanian yang semakin sempit. 
 
Akibat kasus ini, sebagian anggota eks Gafatar yang sudah empat bulan menetap disana dan nyaris panen dari hasil pertanian mereka, harus rela pulang dan dikembalikan ke daerah asalnya, padahal ribuan eks Gafatar sudah merasa nyaman dan membeli aset untuk melanjutkan kehidupan mereka disana. Mantan anggota Gafatar memiliki hubungan satu dengan yang lainnya, tak heran hubungan ini pun dimaknai sebagai konsep Post –Develompment, yang dimaknai mengurangi ketergantungan dan campur tangan dari pemerintah, dan mereka belajar secara mandiri dari sistem ekonomi, budaya dan politik yang saat ini dinilai jauh dari semangat Pancasila.
 
Dalam kasus Gafatar Negara tidak hanya hadir namun juga berlaku adil kepada mantan anggota Gafatar, mereka bukanlah teroris yang harus diwaspadai dan dipantau setiap pergerakannya, mereka adalah anak bangsa yang memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk membangun negeri Indonesia yang berketuhanan maha esa, adil dan bermartabat sesuai Pancasila, meskipun pada dimensi keyakinan dan spiritual mereka memilih “jalan yang sunyi” yang barangkali tidak dapat diterima olah masyarakat banyak.



Rholand Muary,


Senin, 18 Januari 2016

Benang Merah Terorisme ISIS dengan Kelompok Intoleran

Aksi terorisme yang terjadi di kawasan Sarinah Jalan MH Thamrin Jakarta, Kamis 14 Januari 2015, menjadi perhatian dunia, karena aksi terorisme yang terjadi pada saat jam sibuk masyarakat dan terletak di kawasan strategis diklaim dilakukan oleh kelompok ISIS ( Islamic State Iraq Suriah). Akibat persitiwa ini, menewaskan 7 orang tewas, yang lima diantaranya adalah pelaku teror dan selebihnya warna negera asing dan Indonesia, serta 19 orang mengalami luka-lukaMenebar ancaman teror, dan membangun opini bahwa ISIS menyebarkan aktivitas terornya di kawasan Asia Tenggara menjadi topik internasional. Indonesia pun mendapatkan “Travel Advice” dari Australia, Inggris dan Amerika.

 

Aktivitas teror menjadi bukti bahwa kelompok-kelompok ini memang ada dan eksis menebar ancaman di dunia seperti yang terakhir terjadi di paris Prancis. Sebagai menolak rasa takut dan ancaman terhadap aksi terorisme, masyarakat Indonesia ramai ramai membuat hastag, #KamiTidakTakut sebagai wujud aksi perlawanan bahwa ancaman tersebut tidak membuat takut bangsa Indonesia, dan menjadi trending topic di Twitter


Persoalannya sekarang, menurut saya kenapa aksi terorisme ini dapat masuk di dalam Indonesia? tentunya akan ada banyak alasan bagi kita untuk tidak menyamakan Indonesia dengan negera-negera Timur Tengah, Eropa bahkan Amerika. Ideologi ISIS, dianggap masyarakat banyak sebagai persoalan Teologis, yang cenderung radikal, fundamentalisme yang memaksakan bahwa Islam, menjadi roh gerakan kelompok ISIS dan berjuang atas nama Islam. Indonesia juga mayoritas penduduknya beragama Islam.


Beberapa pengamat internasional, bahkan saya pun awalnya sepakat munculnya gerakan-gerakan radikal seperti ini di kawasan Timur tengah tentunya mempunyai sebab, persoalan politik dan dinamika ekonomi menjadi akar munculnya kelompok tersebut. Dengan membentengi atas nama Islam menjadi ruh gerakan kelompok ini, seakan Islam melegitimasi perjuangan Jihad mereka, tak heran muncul juga stigma negatif kepada Islam di negera-negera Eropa, Australia dan Amerika atau disebut Islampobia. Secara umum dalam persepektif sosiologi agama, terdapat dua aliran yang melihat agama dalam studi gerakan yang mengatasnamakan agama dalam proses perubahan sosial. Posisi pertama memandang bahwa agama dimaknai sebagai institusi yang menghambat proses perubahan sosial. Pada posisi ini agama dimaknai sebagai kekuatan konservatif karena agama tidak dapat mendukung perubahan sosial. Tentunya aksi teror seperti ini, akan membawa dampak yang menghambat perubahan sosial. Aksi aksi terorisme pasti dilakukan oleh kelompok-kelompok fundamentalis yakni, gerakan reaksi terhadap pola perubahan yang timbul dari proses industrialisasi dan urbanisasi. Gerakan yang hanya menebar ketakutan, gangguan keamanan, dan ketidakstabilan politik. Pada posisi yang kedua, sebaliknya memandang agama sebagai unsur penting yang turut mempercepat perubahan sosial masyarakat. Agama dikatakan sebagai kekuatan konservatif karena dapat dimaknai sebagai kekuatan untuk menolak perubahan dan cenederung mempertahankan status quo. Kelompok fungsionalis berpegang bahwa masyarakat harus berada pada posisi yang stabil, seimbang, terintegritas, dan agama dalam hal ini berfungsi untuk mempertahankan stabilitas sosial, keseimbagan antar unsur masyarakat, solidaritas dan integrasi sosial. Indonesia, dengan falsafat kehidupannya Pancasila, tentunya menjadi garda terdepan untuk masuknya aliran kelompok radikal, fundamentalime seperti saat ini, dan fenomena sosialnya, justru sangat berbanding terbalik. Hal ini tentunya dapat kita lihat di aktivitas nyata dan sosial media, banyak masyarakat agamis justru sangat intoleran terhadap umat beragama. Munculnya paham intoleransi ini menjadi kabur mana yang merupakan persoalan agama (teologis) dan mana yang menjadi persoalan sosial atau mungkin mencampur adukkan keduanya.


Pengaruh globalisasi dengan mudahnya masyarakat mengakses informasi menjadikan masyarakat terjebak pada dimensi “Truth Claim” atau klaim kebenaran, yang pada akhirnya memaksakan agama, mahzab, paham, aliran, ideologi yang paling benar dan yang diluar adalah salah dan harus diperangi baik dari sisi pemikiran maupun perilakunya. Fenomena intoleransi masyarakat ini menepis, bahwa bangsa Indonesia kaya akan nilai-nilai budaya yang semestinya menjadi pemersatu masyarakat untuk hidup rukun dan damai. Tentunya jika mengamalkan seperti ini, paham ISIS tidak akan mendapatkan tempat di Indonesia.


Sebagai bangsa yang kaya akan budaya dan nilai nilai luhur, semestinya fenomena munculnya paham-paham Intoleransi menjadi persoalan yang serius yang mesti di respon dengan cepat, karena jika dibiarkan, saya menganalis justru paham paham radikalisme, fundamentalisme seperti ISIS justru akan tumbuh berkembang dan akan menguasai ideologi jihad yang seolah terlegitimasi oleh paham keagamaan. saya juga menganalisis, paham intoleransi seperti yang sudah mulai saat ini justru dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok kelompok tertentu. Tentunya ada benang merah munculnya perilaku radikal , fundamentalis berawal dari sikap yang tidak toleran terhadap sesama umat manusia. Kelompok Fundamentalis ISIS sangat tidak toleran, dan memaksanakan kebenarannya, maka dapat disimpulkan bahwa terorisme berawal dari sikap tidak toleransi terhadap umat beragama, dan masyarakat secara keseluruhan. Persoalan-persoalan yang menjadi tuntuan kelompok radikal ISIS menjadi kabur jika gerakan mereka mengatasnamakan agama, seolah agama menjadi alat legitimasi untuk melakukan kekerasan dan menebar ancaman ketakutan kepada masyarakat. Agama seyogyanya menyediakan seperangkat nilai, norma,sikap saling toleransi, kepercayaan, serta melindungi individu dari berbagai gangguan yang dapat merusak kehidupan sosial. Agama berfungsi membantu mempertahankan eksistensi kelangsungan hidup masyarakat.


Melalui peristiwa ini, tentunya pemerintah maupun masyarakat harus kembali kepada nilai –nilai budaya dan pancasila kita, sebagai “Filter dan Agent” mengantisipasi kelompok-kelompok radikal, fundamentalis dan tidak toleran seperti ISIS. Kita tentunya tidak menginginkan Indonesia pada masa yang akan datang seperti Suriah dan Iraq. Na’udzubillah. (Rholand Muary, Mahasiswa Pasca Sarjana Sosiologi USU). Tulisan ini sudah dimuat di salah satu surat kabar terbitan Medan, 16 Januari 2016


“Sumut Paten” dalam Analisa Wacana Kritis

Sumut Paten, kini sudah menjadi jargon politik dan ciri khas dari Gubernur Sumatera Utara, Ir. HT. Erry Nuradi, M.Si. Dalam berbaga...