Senin, 15 Mei 2017

“Sumut Paten” dalam Analisa Wacana Kritis




Sumut Paten, kini sudah menjadi jargon politik dan ciri khas dari Gubernur Sumatera Utara, Ir. HT. Erry Nuradi, M.Si. Dalam berbagai kesempatan dalam acara-acara formal birokrasi maupun dalam kegiatan-kegiatan santai dalam berbagai kesempatan. Sumut Paten dalam sudut pendang kebijakan publik dapat menjadi simbol pelayanan publik karena Erry Nuradi melalui salah satu program kerjanya meluncurkan Sistem Pelayanan Perizinan Terpadu Efektif dan Efesien (Simpel Paten) sebagai usaha dalam meningkatkan pelayanan publik, namun dalam sudut padang politik “Paten” juga diartikan sebagai “Pak Tengku Erry Nuradi” yang merupakan singkatan namanya agar lebih mudah didengar (easy listening) oleh semua kalangan masyarakat, sungguhpun kita tidak mengetahui secara pasti apakah ini merupakah suatu kebetulan atau didesain sedemikian rupa dalam kepentingan pemilihan Gubernur Sumut tahun 2018 mendatang.

Dalam tulisan ini saya mencoba menganalisis wacana ‘Sumut Paten” dalam pendekatan analisis wacana kritis (critical discourse analysis) dengan prinsip objektif agar menjadi kerangka berfikir dalam diskusi-diskusi politik yang semakin hangat menjelang pemilihan kepala daerah di Sumatera Utara tahun 2017. Sumut Paten tidak hanya dimaknai sebagai jargon politik namun harus di benturkan dalam kehidupan sosial, budaya, pelayanan publik, bebas korupsi dan pungli, pendidikan dan lain-lain, yang saat ini menjadi isu-isu yang hangat diperbincangkan masyarakat Sumatera Utara.

Kata “Paten” menjadi kata yang mudah untuk didengar, karena sesungguhnya arus “Modernisasi” dan “Perkotaan” sudah mulai kehilangan kata paten tersebut, sontak beberapa rekan ketika mendengar kata paten, yang dibayangkan mereka adalah percakapan dalam kehidupan zaman dahulu yang umumnya dipusatkan pada kawasan pedesaan dan perkampungan yang jauh dari hiruk pikuk keributan. Padanan kata paten dimaknai sebagai kata yang serupa dengan bagus, baik dan sebagai bentuk ungkapan perasaan kepada orang lain, tak heran dalam simbol gerak tangan (hand gesture) paten disimbolkan dengan sikap mengangkat tangan dengan jempol keatas. Sikap ini juga selalu ditunjukkan oleh gubernur Sumut dalam acara-acara nya yang diakhiri dengan sesi foto bersama.

Gubernur Sumatera Utara, HT Erry Nuradi bisa jadi belum menjadi gubernur yang diidolakan masyarakat, karena masyarakat Sumut tentunya masih mempunyai ingatan yang jelas terhadap jejak rekam Gubernur Sumut sebelumnya yang berakhir di penjara, yakni Syamsul Arifin dan Gatot Pujo Nugroho dalam skandal korupsi, alih-alih terbebas dalam wacana korupsi, Erry Nuradi juga disebut-sebut masuk dalam pusarat korupsi kendati hingga saat ini belum ada ditemukan indikasi tersebut, meskipun beberapa kali istrinya menjadi saksi kasus kurupsi. 

Analisa Wacana Kritis
Jargon politik “Sumut Paten” dalam menafsiran analisa wacana kritis bisa menjadi wacana untuk mengenyampingkan bahkan melupakan sejenak kasus-kasus korupsi yang ada di Sumatera Utara. Tentunya Erry Nuradi berharap gagasan “Sumut paten” menjadi simbol politik agar kepemimpinannya dalam berjalan terus dan dibawah kepemimpinannya Sumut menjadi propinsi yang lebih unggul dalam segala sektor dibandingkan propinsi lainnya.

“Sumut Paten” sebenarnya dapat disandingkan dengan jargon politik Presiden RI, Joko Widodo dengan istilah “Revolusi Mental”. Mengutip kaca mata Gramsci, revolusi mental melibatkan proses kesadaran yang  melibatkan hegemoni kekuasaan. Kesadaran masyarakat yang kritis mengangkat orang yang sederhana ambil bagian dalam hegemoni. Revolusi mental sebagai bentuk kesadaran kritis dalam memperjuangkan dan memenangkan hegemoni politik, menyelamatkan konsensus serta perjuangan untuk mendapatkan hati dan pikiran rakyat. Artinya, Gramsci dalam pandangan tersebut mengandaikan adanya perkembangan perubahan kesadaran kelas sosial dan gerakan sosial dengan mengandalkan para peran intelektual organis dan kesadaran kritis untuk sampai ke tahap hegemoni.

Dalam konteks yang sederhana, “Sumut Paten” belum dapat menunjukkan gagasan wacana yang membangun kesadaran kritis bahwa sosok Erry Nuradi dapat membawa Sumut lebih unggul, karena keberhasilan Sumut dengan kabupaten/kota boleh jadi juga hasil kerja payah Walikota dan Bupati yang ada di Sumatera Utara. Namun melalui “Sumut Paten”, Erry Nuradi mampu memanfaatkan moment tersebut dalam keunggulan infrastruktur yang saat ini banyak di Sumut contohnya jalan tol Medan-Tebing bahkan rencana membuat jalan Tol Medan- Berastagi juga sudah terwacanakan dengan baik, mendapatkan sambutan yang positif dan sangat ditunggu-tunggu masyarakat, kendati demikian jika dilihat secara wacana kritis, proyek infrastruktur tersebut juga tidak terlepas dari political will pemerintah pusat. 

Mengambil pandangan Pierre Bourdieu dengan konsep habitus, maka Erry Nuradi saat ini memiliki dan menguasai infrastruktur birokrasi, akses ke pemerintah pusat serta posisinya juga sebagai ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) partai NasDem Sumut membuat geraknya menjadi lebih leluasa dan percaya diri untuk memimpin Sumut kembali. Dalam analisi simbol-simbol gambaran Sumut Paten juga dicitrakan dengan konsep dominasi berwarna biru yang secara politik menunjukkan identitas partai politik yang ia pimpin hingga saat ini.

Dalam website resmi www.sumutpaten.com yang banyak menampilkan aktivitas kedinasannya, salah satunya yang dapat dianalisi yakni pemberitaan tentang pejabat eselon 2 yang dilantik olehnya pada hari Senin, 10 April 2016 di kantor Gubernur Sumut. Dalam penegasan teks pemberitaan yang menjadi judul berita tersebut, Erry Nuradi berpesan kepada SKPD yang baru dilantik untuk “jangan mempermalukan instansi, jangan berbuat tercela, jangan KKN”. Dalam analisa kritis teks dan konteks dalam redaksi tersebut menjelaskan bahwa sebelum pelantikan, SKPD Pempropsu yakni kepala Dinas Pertambangan dan Energi  (Distamben) masuk dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh Tim Saber Pungli Polda Sumut. Kejadian ini justru mengganggu wacana pelayanan publik yang bebas korupsi, dan pungli yang menjadi isu utama di Sumut, maka dalam kesempatan momen pelantikan SKPD tersebut, wacana agar SKPD yang dilantik harus menjankan amanah dengan sebaik-baiknya dan tidak melakukan tindakan yang dapat mencorong sebuah simbol pelayanan publik di Sumut dengan praktik-praktik korupsi dan pungli. 

Tentunya jargon sumut paten sebagai jargon politik dan simbol pelayanan publik menjadi wacana untuk memperoleh simpati dan perhatian masyarakat, namun dalam konteks pendidikan politik, tentunya masyarakat Sumut akan banyak belajar dalam penilaian kepala daerah baik itu dalam kondisi yang saat ini berjalan maupun yang akan datang dalam menghadapi momen-momen politik. Harapan dalam analisa wacana kritis ini dapat membangun kerangka berfikir dan kesadaran yang kritis untuk membangun Sumut yang lebih baik tidak hanya sebatas jargon politik namun menjadi fakta sosial. (tulisan ini sudah dimuat di Harian Sindo)

Selasa, 01 Maret 2016

GAFATAR : Diantara Sesat dan Mimpi Membangun Negeri




Organisasi Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR) yang dianggap “Menyimpang” dari ajaran agama Islam ternyata sudah resmi membubarkan diri pada 13 Agustus 2015, pembubaran organisasi berlambang matahari ini tidak terlepas dari fatwa “Sesat” yang sudah disematkan oleh MUI di beberapa daerah di Indonesia, termasuk di Nanggroe Aceh Darusalam (NAD). Dan pada tanggal 3 February 2016 yang lalu, MUI pusat secara resmi, juga telah memberikan label “Sesat” pada Gafatar dan para anggotanya pun dianggap murtad

Sejarah perjalanan mereka, stigma Sesat dan membubarkan diri, ternyata tidak mengurangi semangat untuk mantan anggota Gafatar membangun negeri Indonesia. Mereka mengambil pilihan berani untuk melanjutkan program kemandirian dan kedaulatan pangan (PKP) di tanah Borneo, sebagai salah satu hasil rekomendasi kongres luar biasa Gafatar pasca membubarkan diri, atau pilihan kedua, kembali ke aktivitas semula dengan pekerjaannya masing-masing.

Isu Gafatar dianggap menyimpang dimulai dengan kasus hilangnya dr Rica bersama anaknya tanpa alasan yang tidak jelas kepada keluarga. Pihak kepolisian pun mencari keberadaan dr Rica dan ternyata dia berada di Mempawah Kalimantan Barat dan ikut bersama ribuan masyarakat meneruskan program eksodus ke kalimantan Barat meneruskan cita-cita Eks Gafatar. 

Ibarat Bensin tersulut Api, media pun memberitakan banyaknya kasus orang hilang diduga karena ikut program Gafatar, dan membangun opini masyarakat dan negara bahwa Gafatar adalah organisasi yang menyimpang bin sesat ditandai dengan beberapa perilaku orang hilang karena gafatar tidak menunjukkan perilaku normal pada umumnya. Dalam persoalan Gafatar, masyarakat maupun negera harus melihat secara keseluruhan dan membagi dalam dua sisi, sisi pertama pada dimensi keyakinan spiritual dan pada dimensi pembangunan sosial

Apakah Gafatar Sesat?

Mantan Ketua umum Gafatar, Mahful Muis Tumanurung sudah menyampaikan kepada publik, bahwa dalam dimensi spiritual, Eks Gafatar mempunyai pemahaman spiritual sendiri, dan keluar dari ajaran Islam mainstram. Dia pun mengakui bahwa Ahmad Musadeq sebagai guru spiritual dan membangun paham Milah Abraham dengan semangat nilai-nilai universal bersumber dari tuhan yang satu, tuhan semesta alam. Mereka pun enggan dianggap sesat oleh MUI karena akan berdampak sosial bagi pengikutnya ketika kembali dan pulang ke wilayahnya masing masing.

Dalam kajian Sosiologi agama, Gafatar bukan lah kelompok keagamaan yang baru, sebenarnya mereka bagian dari konsep New Religious Movement  atau gerakan agama baru, yang awal munculnya pasca perang dunia kedua. Secara sederhana gerakan agama baru dimaknai sebagai gerakan non arus utama agama besar dunia. Gerakan ini diilhami oleh individu kharismatik tertentu atau sekumpulan ajaran dari suatu latar religius kultural yang diambil dari bagian agama-agama dan kepercayaan- kepercayaan yang ada di dunia. 



Eropa, USA dan Amerika Utara mengambil praktik-praktik dan ide-ide keagamaan Timur, kebanyakan berasal dari anak benua India meliputi Brahma Kumaris, Hare Krisna, Rajneeshism (Osho), Yoga dan Sai Baba. Beberapa gerakan keagamaan baru dikaitkan dengan ajaran pimpinan keagamaan seperti Ron Hubbard (Scientology), Moses David (Children of God or the Family), John Wimber (Vineyard Christian Fellowship), dan Maharishi (Transendental Meditation) dan kemudian berkembang ke Amerika Latin dan Asia Tenggara.

Munculnya gerakan agama baru ini , pertama tidak terlepas dari bentuk resistensi masyarakat modern yang materialisme, utilitarian, individualisme dan menggunakan teknik rasional dari ilmu pengetahuan yang mendominasi suatu kultur masyarakat. Kedua, adanya dominasi secara ilmiah dan sosial dapat merusak tekanan dalam diri individu, tanggung jawab personal dan hilangnya pandangan hidup tradisional dalam masyarakat. 

Ketiga, kemunduran dalam agama-agama atau aliran Ketuhanan dalam kehidupan individu dan berkembangnya perspektif sosial terhadap sesuatu yang ilmiah, sehingga kesemuanya itu memberikan sebuah eksperimen yang sangat berarti di dalam semua segi kehidupan, termasuk politik dan gaya hidup (life-style) dan juga agama sebagai respon dari dehumanisasi akibat kemajuan teknologi. Keempat, terbuka terhadap gagasan dan cara pemikiran baru. Kelima, adanya kekecewaan atau keprihatinan terhadap sistem sosial modern dan kehidupan urban yang impersonal atau individualistik.

Dalam masyarakat era Post-Modernisme, ada rasa haus yang luar biasa terhadap kebutuhan Spiritualitas sebagai respon sosial,budaya, politik dan mereka akan mencari bentuk yang baru diluar ajaran agama mainstream. Fatwa Sesat MUI yang didasarkan pada sepuluh kriteria sepertinya tidak akan memberikan jawaban dan solusi terkait Eks Gafatar karena negera Indonesia pun menjamin kebebasan beragama, berkeyakinan dan kepercayaan masing-masing sesuai dengan UUD 45 dan pancasila sepanjang mereka tidak melanggar konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Mimpi Membangun Negeri

Ormas Gafatar mempunyai cita cita membangun negeri Indonesia yakni membangun tatanan masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan yang maha esa dengan cara pembinaan mental spiritual, merangkul semua elemen, bekerja sama dengan berbagai pihak, aksi-aksi sosial dan peningkatan ilmu dan intelektual di tengah masyarakat dan menanamkan spirit kebangsaan yang sanggup berkorban harta dan jiwa untuk membangun bangsa dan tanah air berdasarkan semangat pancasila.

Namun kasus Gafatar kian mengubur mimpi mereka untuk membangun negeri, tidak hanya diisukan sesat, bahwa eks Gafatar juga disebut-sebut negera berencana membangun negara sendiri di tanah Kalimantan melalui program kemandirian dan kedaulatan pangan. Program kedaulatan dianggap penting bagi mereka karena pertanian menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat banyak.
Sosiolog Amerika, Robert N Bellah dengan gagasan Civil Religion di Amerika, dimaknai sebagai bentuk integrasi sosial yang luas dalam sebuah sistem keagamaan sebagai identitas dan solidaritas nasional dari agama. Pancasila sebagai dasar negera disebut juga sebagai civil religionnya Indonesia karena pemahaman tentang Tuhan yang esa terintegrasi dengan semangat membangun moral individu, bangsa dan negera. 


Pancasila sebagai benteng sekaligus filter untuk menolak paham yang dapat merusak eksistensi negera Indonesia seperti, radikalisme, ekstremisme, fundamentalis dan kelompok-kelompok intoleran yang dapat menganggu sistem berbangsa dan bernegara.  Dalam kasus Gafatar sebenarnya, negera harus memberikan intervensi positif dalam upaya gafatar menterjemahkan semangat dan nilai-nilai pancasila itu sendiri.

Dalam berbagai kesempatan, Eks Gafatar selalui meminta ijin kepada negera agar mereka diberikan kesempatan membangun negeri ini, jalan terakhir yang dilakukan adalah program hijrah ke Mempawah Kalbar dengan membangun program kedaulatan pangan. Mayoritas eks gafatar yang eksodus umumnya berasal dari Jawa. Mereka terkesan tidak lagi diterima di lingkungannya dan rela menjual harta yang dimiliki demi sebuah mimpi meningkatkan derajat mereka dan membangun negeri, hal ini juga tidak terlepas dari kondisi pembangunan yang cenderung industrialis, sulitnya lapangan kerja, dan lahan pertanian yang semakin sempit. 
 
Akibat kasus ini, sebagian anggota eks Gafatar yang sudah empat bulan menetap disana dan nyaris panen dari hasil pertanian mereka, harus rela pulang dan dikembalikan ke daerah asalnya, padahal ribuan eks Gafatar sudah merasa nyaman dan membeli aset untuk melanjutkan kehidupan mereka disana. Mantan anggota Gafatar memiliki hubungan satu dengan yang lainnya, tak heran hubungan ini pun dimaknai sebagai konsep Post –Develompment, yang dimaknai mengurangi ketergantungan dan campur tangan dari pemerintah, dan mereka belajar secara mandiri dari sistem ekonomi, budaya dan politik yang saat ini dinilai jauh dari semangat Pancasila.
 
Dalam kasus Gafatar Negara tidak hanya hadir namun juga berlaku adil kepada mantan anggota Gafatar, mereka bukanlah teroris yang harus diwaspadai dan dipantau setiap pergerakannya, mereka adalah anak bangsa yang memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk membangun negeri Indonesia yang berketuhanan maha esa, adil dan bermartabat sesuai Pancasila, meskipun pada dimensi keyakinan dan spiritual mereka memilih “jalan yang sunyi” yang barangkali tidak dapat diterima olah masyarakat banyak.



Rholand Muary,


Senin, 18 Januari 2016

Benang Merah Terorisme ISIS dengan Kelompok Intoleran

Aksi terorisme yang terjadi di kawasan Sarinah Jalan MH Thamrin Jakarta, Kamis 14 Januari 2015, menjadi perhatian dunia, karena aksi terorisme yang terjadi pada saat jam sibuk masyarakat dan terletak di kawasan strategis diklaim dilakukan oleh kelompok ISIS ( Islamic State Iraq Suriah). Akibat persitiwa ini, menewaskan 7 orang tewas, yang lima diantaranya adalah pelaku teror dan selebihnya warna negera asing dan Indonesia, serta 19 orang mengalami luka-lukaMenebar ancaman teror, dan membangun opini bahwa ISIS menyebarkan aktivitas terornya di kawasan Asia Tenggara menjadi topik internasional. Indonesia pun mendapatkan “Travel Advice” dari Australia, Inggris dan Amerika.

 

Aktivitas teror menjadi bukti bahwa kelompok-kelompok ini memang ada dan eksis menebar ancaman di dunia seperti yang terakhir terjadi di paris Prancis. Sebagai menolak rasa takut dan ancaman terhadap aksi terorisme, masyarakat Indonesia ramai ramai membuat hastag, #KamiTidakTakut sebagai wujud aksi perlawanan bahwa ancaman tersebut tidak membuat takut bangsa Indonesia, dan menjadi trending topic di Twitter


Persoalannya sekarang, menurut saya kenapa aksi terorisme ini dapat masuk di dalam Indonesia? tentunya akan ada banyak alasan bagi kita untuk tidak menyamakan Indonesia dengan negera-negera Timur Tengah, Eropa bahkan Amerika. Ideologi ISIS, dianggap masyarakat banyak sebagai persoalan Teologis, yang cenderung radikal, fundamentalisme yang memaksakan bahwa Islam, menjadi roh gerakan kelompok ISIS dan berjuang atas nama Islam. Indonesia juga mayoritas penduduknya beragama Islam.


Beberapa pengamat internasional, bahkan saya pun awalnya sepakat munculnya gerakan-gerakan radikal seperti ini di kawasan Timur tengah tentunya mempunyai sebab, persoalan politik dan dinamika ekonomi menjadi akar munculnya kelompok tersebut. Dengan membentengi atas nama Islam menjadi ruh gerakan kelompok ini, seakan Islam melegitimasi perjuangan Jihad mereka, tak heran muncul juga stigma negatif kepada Islam di negera-negera Eropa, Australia dan Amerika atau disebut Islampobia. Secara umum dalam persepektif sosiologi agama, terdapat dua aliran yang melihat agama dalam studi gerakan yang mengatasnamakan agama dalam proses perubahan sosial. Posisi pertama memandang bahwa agama dimaknai sebagai institusi yang menghambat proses perubahan sosial. Pada posisi ini agama dimaknai sebagai kekuatan konservatif karena agama tidak dapat mendukung perubahan sosial. Tentunya aksi teror seperti ini, akan membawa dampak yang menghambat perubahan sosial. Aksi aksi terorisme pasti dilakukan oleh kelompok-kelompok fundamentalis yakni, gerakan reaksi terhadap pola perubahan yang timbul dari proses industrialisasi dan urbanisasi. Gerakan yang hanya menebar ketakutan, gangguan keamanan, dan ketidakstabilan politik. Pada posisi yang kedua, sebaliknya memandang agama sebagai unsur penting yang turut mempercepat perubahan sosial masyarakat. Agama dikatakan sebagai kekuatan konservatif karena dapat dimaknai sebagai kekuatan untuk menolak perubahan dan cenederung mempertahankan status quo. Kelompok fungsionalis berpegang bahwa masyarakat harus berada pada posisi yang stabil, seimbang, terintegritas, dan agama dalam hal ini berfungsi untuk mempertahankan stabilitas sosial, keseimbagan antar unsur masyarakat, solidaritas dan integrasi sosial. Indonesia, dengan falsafat kehidupannya Pancasila, tentunya menjadi garda terdepan untuk masuknya aliran kelompok radikal, fundamentalime seperti saat ini, dan fenomena sosialnya, justru sangat berbanding terbalik. Hal ini tentunya dapat kita lihat di aktivitas nyata dan sosial media, banyak masyarakat agamis justru sangat intoleran terhadap umat beragama. Munculnya paham intoleransi ini menjadi kabur mana yang merupakan persoalan agama (teologis) dan mana yang menjadi persoalan sosial atau mungkin mencampur adukkan keduanya.


Pengaruh globalisasi dengan mudahnya masyarakat mengakses informasi menjadikan masyarakat terjebak pada dimensi “Truth Claim” atau klaim kebenaran, yang pada akhirnya memaksakan agama, mahzab, paham, aliran, ideologi yang paling benar dan yang diluar adalah salah dan harus diperangi baik dari sisi pemikiran maupun perilakunya. Fenomena intoleransi masyarakat ini menepis, bahwa bangsa Indonesia kaya akan nilai-nilai budaya yang semestinya menjadi pemersatu masyarakat untuk hidup rukun dan damai. Tentunya jika mengamalkan seperti ini, paham ISIS tidak akan mendapatkan tempat di Indonesia.


Sebagai bangsa yang kaya akan budaya dan nilai nilai luhur, semestinya fenomena munculnya paham-paham Intoleransi menjadi persoalan yang serius yang mesti di respon dengan cepat, karena jika dibiarkan, saya menganalis justru paham paham radikalisme, fundamentalisme seperti ISIS justru akan tumbuh berkembang dan akan menguasai ideologi jihad yang seolah terlegitimasi oleh paham keagamaan. saya juga menganalisis, paham intoleransi seperti yang sudah mulai saat ini justru dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok kelompok tertentu. Tentunya ada benang merah munculnya perilaku radikal , fundamentalis berawal dari sikap yang tidak toleran terhadap sesama umat manusia. Kelompok Fundamentalis ISIS sangat tidak toleran, dan memaksanakan kebenarannya, maka dapat disimpulkan bahwa terorisme berawal dari sikap tidak toleransi terhadap umat beragama, dan masyarakat secara keseluruhan. Persoalan-persoalan yang menjadi tuntuan kelompok radikal ISIS menjadi kabur jika gerakan mereka mengatasnamakan agama, seolah agama menjadi alat legitimasi untuk melakukan kekerasan dan menebar ancaman ketakutan kepada masyarakat. Agama seyogyanya menyediakan seperangkat nilai, norma,sikap saling toleransi, kepercayaan, serta melindungi individu dari berbagai gangguan yang dapat merusak kehidupan sosial. Agama berfungsi membantu mempertahankan eksistensi kelangsungan hidup masyarakat.


Melalui peristiwa ini, tentunya pemerintah maupun masyarakat harus kembali kepada nilai –nilai budaya dan pancasila kita, sebagai “Filter dan Agent” mengantisipasi kelompok-kelompok radikal, fundamentalis dan tidak toleran seperti ISIS. Kita tentunya tidak menginginkan Indonesia pada masa yang akan datang seperti Suriah dan Iraq. Na’udzubillah. (Rholand Muary, Mahasiswa Pasca Sarjana Sosiologi USU). Tulisan ini sudah dimuat di salah satu surat kabar terbitan Medan, 16 Januari 2016


Minggu, 06 Juli 2014

Memilih Tuhan atau Memilih Presiden (?)

Memilih Tuhan atau Memilih Presiden?

Momentum Pilpres yang sebentar lagi, ternyata  membuat animo masyarakat Indoensia secara ‘blak-blakan’ menyatakan dukungannya kepada salah satu calon presiden dan wakil presiden, hasrat politik sepertinya tidak dapat dibendung, seakan dukungan poltik menjadi satu nafas yang tidak dapat dipisahkan.

Dukungan politik tersebut tidak hanya berasal dari individu masyarakat namun juga datangnya dari berbagai macam ormas keagaman, masyarakat , kelompok warga,komunitas, daerah dan lain lain diluar dukungan partai politik dan elite...

Ada fenomena menarik, pada pilpres tahun 2014 ini, bila dibandingkan dengan pilpres lima tahun sebelumnya, jika dahulu masih banyak kita dengar masyarakat yang mengkampanyekan untuk tidak memilih atau Golput, namun saat ini bisa dikatakan  lenyap untuk kita dengar, apakah ini karena kampanye KPU yang baik mengajak orang jangan Golput atau masyarakat sudah sangat yakin dengan kandidat calon presiden saat ini.

Begitu juga dengan perkembangan sosial media berupa FB, Twitter, Blog dan lain sebagainya, ternyata sekejapmembuat masyarakat lebih mudah mengakses informasi mengenai calon presiden yang akan dipilihnya, namun dibalik itu juga masyarakat terlalu mudah mendapatkan kampanye negatif sehingga informasinya yang didapatkan dapat berupa fitnah, black campaign tidak terfilter dengan baik, hal tersebut  bisa jadi sengaja dihembuskan oleh pihak lawan politik untuk menjatuhkan elektabilitas calon presiden tertentu..
Pernyataan dukungan baik secara ‘blak-blakan’ maupun tersirat sepertinya juga sudah sangat tampak di media sosial, namun sayangnya dibalik itu semuanya, muncul persoalan baru, dimana masing-masing pengguna sosial media, ikut terjerumus alur politik yang membuat satu sama lain saling ‘berkelahi’ berakibat silaturahmi menjadi buyar, seakan etika dan tata krama yang menjadi budaya adiluhung pun ikut tercemar gara-gara berbeda pandangan politik menentukan pilihannya. Lantas yang menjadi pertanyaan kita, apakah pilpres tahun ini menjadi agenda perubahan besar untuk Indonesia kedepan??

Kalau saya akan menjawab, bisa iya bisa juga tidak, kenapa? Karena calon presiden yang akan kita pilih (Joko widodo dan Prabowo Subianto) bukanlan calon pemimpin yang sempurna, yang tidak terlepas dari kekurangan ketika ia jauh sebelum mendeklarasikan diri sebagai calon presiden, maupun nanti setelah menjadi seorang presiden, namun yang menjadi gambaran saat ini, dukungan politik masyarakat belum mencerminkan masyarakat yang menjunjung etika dan tata krama, seakan pilpres tahun ini memilih ‘Tuhan’ yang harus dipastikan menang, sementara lawannya merupakan ‘iblis’ atau ‘setan ‘yang wajib untuk dikalahkan,kedewasaan pandangan seperti ini sangat jauh dari cerminan budaya politik yang sehat. Apakah dinegara lain seperti saat ini pendidikan politiknya?

Pada tanggal 9 Juli 2014  nanti , dapat dipastikan kita  mengetahui siapa presiden yang akan dipilih oleh mayoritas penduduk Indonesia, namun lagi-lagi melihat kondisi objektif karakteristik pendukung saat ini, ada kekhawatiran bagi pendukung yang calon presiden yang ‘kalah’, tidak menerima kekalahan bahkan cenderung anarkis secara pemikiran, inilah mengapa fenomena mendukung capres dan cawapres tahun 2014 ini seakan memilih tuhan dan iblis, mainset pemilih menjadi ‘ortodoks’ bahkan ‘kekanak-kanakan’ melihat sisi-sisi dukungan politik yang belum tentu juga membawa demokrasi Indonesia menjadi demokrasi substansial bukan demokrasi yang sifatnya prosedural.

Intinya, semoga Pilpres ini cepat berlalu, dan menghasilkan presiden Indonesia yang hebat, masyarakat pendukung yang kalah juga tidak mesti berperilaku oposisi, jika presiden terpilih mempunya program kerja yang bagus dan nyata untuk rakyat maka wajib untuk didukung, namun jika bertolak belakang wajib pula untuk dikritisi bersama. Ini adalah tulisan pribadi yang berangkat dari kegelisahan padangan yang terlihat sehari hari, sangat sederhana namun mempunyai impikasi buat penulis pribadi dan juga pembaca. Terima Kasih.http://politik.kompasiana.com/2014/07/02/memilih-tuhan-atau-memilih-presiden-665792.html


Salam Perubahan

Jumat, 22 November 2013

Komunitas Koalisi Pemuda Hijau Indonesia (KOPHI)


“ Berwisata Sembari  Beredukasi ” 

Menjaga kelestarian alam sudah menjadi kewajiban bagi setiap manusia di muka bumi, karena alam merupakan titipan yang maha kuasa kepada manusia sehingga harus di jaga dan di rawat demi terciptanya keseimbangan kehidupan,  namun sayangnya di antara masyarakat masih banyak di temukan orang orang yang tidak peduli menjaga lingkungan salah satunya dengan membuat sampah ke sungai, menebang pepohonan, dan lain lain . Maka atas dasar itulah, para generasi muda yang peduli akan lingkungan membentuk Koalisi Pemuda Hijau Indonesia (KOPHI).

Sejak di dirikan pada 10 Oktober 2010, komunitas KOPHI ini terus mengkampanyekan gerakan menyadaran dengan berbagai macam bentuk kegiatan bagi masyarakat agar lebih peduli menjaga kelestarian lingkungan. Para anak muda yang umumnya didominiasi oleh mahasiswa terus berdatangan dari berbagai macam kampus yang ada di medan dan bergabung menyatukan visi untuk membangun gerakan kepedulian lingkungan. Seperti baru baru ini bertepatan dengan hari air internasional, mereka menggelar kunjungan wisata sekaligus edukasi ke Danau Linting Kabupaten Deli Serdang. 

Saat di danau linting, kami memungut sampah, sekaligus memeberikan penyadaran kepada para pedagang dan juga pengunjung” kata Ketua KOPHI, Saddam Azhar Pasaribu

Memilih Danau Linting untuk di jadikan tempat wisata edukasi, Saddam menjelaskan karena lokasi Danau Linting sudah mulai banyak di kunjungi oleh masyarakat, apalagi jaraknya tidak begitu jauh dengan kota Medan. Namun sayangnya banyak pengunjung yang belum peduli akan kebersihan, sehingga sekitar danau tampak kotor, baik itu sampah makanan yang datanya dari pengujung maupun pedagang sendiri.

“ Awalnya kami sempat di marahain sama salah seorang masyarakat, dibilangnya kok kami peduli dengan kebersihan, sementara warga sekitar dengan kondisi banyaknya sampah di sekitar danau tidak begitu complain,” katanya menceritakan.

Akhirnya setelah di jelaskan, masyarakat tersebut pun mau menerimanya, dan anggota KOPHI pun terus memungut sampah yang berserakan sekaligus memasang spanduk himbauan untuk tidak membuat sampah sembarangan, karena tong sampah yang minim, KOPHI juga menyediakan sampah di sekitaran Danau Linting.

“Kami menyebutkan, berwisata sambil beredukasi memberikan penyadaran kepada masyarakat untuk peduli menjaga kebersihan lingkungan” kata Mahasiswa semester akhir jurusan Matematika Unimed ini.

Selain itu, komunitas ini juga kerab memberikan sosialisasi dan penyuluhan kepada para generasi muda khusunya pelajar di SMA Negeri dan Swasta di Medan. Adapun beberapa materinya antara lain mengkampanyekan untuk tidak merokok dan bagaimana menerapkan pola hidup sehat dengan menjaga kelestarian lingkungan. Komunitas ini juga menyoroti menjelang pemilihan umum 2014, sudah banyak terpampang paku dan papan dari para Calon Legislatif yang terpasang di pepohonan di kota Medan.

“ Kami juga berencana akan melakukan aksi cabut paku di pohon, karena keberadaan paku tersebut menganggu petumbuhan pohon serta merusak estetika kota” katanya.

Dirinya pun mengakui kesadaran masyarakat kota Medan untuk peduli terhadap lingkungan masih minim, oleh sebab itu komunitas KOPHI yang beranggotakan 63 orang ini terus mengkampanyekan gerakan penyadaran akan lingkungan. rholand muary



“Sumut Paten” dalam Analisa Wacana Kritis

Sumut Paten, kini sudah menjadi jargon politik dan ciri khas dari Gubernur Sumatera Utara, Ir. HT. Erry Nuradi, M.Si. Dalam berbaga...