Senin, 18 Januari 2016

Benang Merah Terorisme ISIS dengan Kelompok Intoleran

Aksi terorisme yang terjadi di kawasan Sarinah Jalan MH Thamrin Jakarta, Kamis 14 Januari 2015, menjadi perhatian dunia, karena aksi terorisme yang terjadi pada saat jam sibuk masyarakat dan terletak di kawasan strategis diklaim dilakukan oleh kelompok ISIS ( Islamic State Iraq Suriah). Akibat persitiwa ini, menewaskan 7 orang tewas, yang lima diantaranya adalah pelaku teror dan selebihnya warna negera asing dan Indonesia, serta 19 orang mengalami luka-lukaMenebar ancaman teror, dan membangun opini bahwa ISIS menyebarkan aktivitas terornya di kawasan Asia Tenggara menjadi topik internasional. Indonesia pun mendapatkan “Travel Advice” dari Australia, Inggris dan Amerika.

 

Aktivitas teror menjadi bukti bahwa kelompok-kelompok ini memang ada dan eksis menebar ancaman di dunia seperti yang terakhir terjadi di paris Prancis. Sebagai menolak rasa takut dan ancaman terhadap aksi terorisme, masyarakat Indonesia ramai ramai membuat hastag, #KamiTidakTakut sebagai wujud aksi perlawanan bahwa ancaman tersebut tidak membuat takut bangsa Indonesia, dan menjadi trending topic di Twitter


Persoalannya sekarang, menurut saya kenapa aksi terorisme ini dapat masuk di dalam Indonesia? tentunya akan ada banyak alasan bagi kita untuk tidak menyamakan Indonesia dengan negera-negera Timur Tengah, Eropa bahkan Amerika. Ideologi ISIS, dianggap masyarakat banyak sebagai persoalan Teologis, yang cenderung radikal, fundamentalisme yang memaksakan bahwa Islam, menjadi roh gerakan kelompok ISIS dan berjuang atas nama Islam. Indonesia juga mayoritas penduduknya beragama Islam.


Beberapa pengamat internasional, bahkan saya pun awalnya sepakat munculnya gerakan-gerakan radikal seperti ini di kawasan Timur tengah tentunya mempunyai sebab, persoalan politik dan dinamika ekonomi menjadi akar munculnya kelompok tersebut. Dengan membentengi atas nama Islam menjadi ruh gerakan kelompok ini, seakan Islam melegitimasi perjuangan Jihad mereka, tak heran muncul juga stigma negatif kepada Islam di negera-negera Eropa, Australia dan Amerika atau disebut Islampobia. Secara umum dalam persepektif sosiologi agama, terdapat dua aliran yang melihat agama dalam studi gerakan yang mengatasnamakan agama dalam proses perubahan sosial. Posisi pertama memandang bahwa agama dimaknai sebagai institusi yang menghambat proses perubahan sosial. Pada posisi ini agama dimaknai sebagai kekuatan konservatif karena agama tidak dapat mendukung perubahan sosial. Tentunya aksi teror seperti ini, akan membawa dampak yang menghambat perubahan sosial. Aksi aksi terorisme pasti dilakukan oleh kelompok-kelompok fundamentalis yakni, gerakan reaksi terhadap pola perubahan yang timbul dari proses industrialisasi dan urbanisasi. Gerakan yang hanya menebar ketakutan, gangguan keamanan, dan ketidakstabilan politik. Pada posisi yang kedua, sebaliknya memandang agama sebagai unsur penting yang turut mempercepat perubahan sosial masyarakat. Agama dikatakan sebagai kekuatan konservatif karena dapat dimaknai sebagai kekuatan untuk menolak perubahan dan cenederung mempertahankan status quo. Kelompok fungsionalis berpegang bahwa masyarakat harus berada pada posisi yang stabil, seimbang, terintegritas, dan agama dalam hal ini berfungsi untuk mempertahankan stabilitas sosial, keseimbagan antar unsur masyarakat, solidaritas dan integrasi sosial. Indonesia, dengan falsafat kehidupannya Pancasila, tentunya menjadi garda terdepan untuk masuknya aliran kelompok radikal, fundamentalime seperti saat ini, dan fenomena sosialnya, justru sangat berbanding terbalik. Hal ini tentunya dapat kita lihat di aktivitas nyata dan sosial media, banyak masyarakat agamis justru sangat intoleran terhadap umat beragama. Munculnya paham intoleransi ini menjadi kabur mana yang merupakan persoalan agama (teologis) dan mana yang menjadi persoalan sosial atau mungkin mencampur adukkan keduanya.


Pengaruh globalisasi dengan mudahnya masyarakat mengakses informasi menjadikan masyarakat terjebak pada dimensi “Truth Claim” atau klaim kebenaran, yang pada akhirnya memaksakan agama, mahzab, paham, aliran, ideologi yang paling benar dan yang diluar adalah salah dan harus diperangi baik dari sisi pemikiran maupun perilakunya. Fenomena intoleransi masyarakat ini menepis, bahwa bangsa Indonesia kaya akan nilai-nilai budaya yang semestinya menjadi pemersatu masyarakat untuk hidup rukun dan damai. Tentunya jika mengamalkan seperti ini, paham ISIS tidak akan mendapatkan tempat di Indonesia.


Sebagai bangsa yang kaya akan budaya dan nilai nilai luhur, semestinya fenomena munculnya paham-paham Intoleransi menjadi persoalan yang serius yang mesti di respon dengan cepat, karena jika dibiarkan, saya menganalis justru paham paham radikalisme, fundamentalisme seperti ISIS justru akan tumbuh berkembang dan akan menguasai ideologi jihad yang seolah terlegitimasi oleh paham keagamaan. saya juga menganalisis, paham intoleransi seperti yang sudah mulai saat ini justru dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok kelompok tertentu. Tentunya ada benang merah munculnya perilaku radikal , fundamentalis berawal dari sikap yang tidak toleran terhadap sesama umat manusia. Kelompok Fundamentalis ISIS sangat tidak toleran, dan memaksanakan kebenarannya, maka dapat disimpulkan bahwa terorisme berawal dari sikap tidak toleransi terhadap umat beragama, dan masyarakat secara keseluruhan. Persoalan-persoalan yang menjadi tuntuan kelompok radikal ISIS menjadi kabur jika gerakan mereka mengatasnamakan agama, seolah agama menjadi alat legitimasi untuk melakukan kekerasan dan menebar ancaman ketakutan kepada masyarakat. Agama seyogyanya menyediakan seperangkat nilai, norma,sikap saling toleransi, kepercayaan, serta melindungi individu dari berbagai gangguan yang dapat merusak kehidupan sosial. Agama berfungsi membantu mempertahankan eksistensi kelangsungan hidup masyarakat.


Melalui peristiwa ini, tentunya pemerintah maupun masyarakat harus kembali kepada nilai –nilai budaya dan pancasila kita, sebagai “Filter dan Agent” mengantisipasi kelompok-kelompok radikal, fundamentalis dan tidak toleran seperti ISIS. Kita tentunya tidak menginginkan Indonesia pada masa yang akan datang seperti Suriah dan Iraq. Na’udzubillah. (Rholand Muary, Mahasiswa Pasca Sarjana Sosiologi USU). Tulisan ini sudah dimuat di salah satu surat kabar terbitan Medan, 16 Januari 2016


“Sumut Paten” dalam Analisa Wacana Kritis

Sumut Paten, kini sudah menjadi jargon politik dan ciri khas dari Gubernur Sumatera Utara, Ir. HT. Erry Nuradi, M.Si. Dalam berbaga...