Sumut
Paten, kini sudah menjadi jargon politik dan ciri khas dari Gubernur Sumatera
Utara, Ir. HT. Erry Nuradi, M.Si. Dalam berbagai kesempatan dalam acara-acara
formal birokrasi maupun dalam kegiatan-kegiatan santai dalam berbagai
kesempatan. Sumut Paten dalam sudut pendang kebijakan publik dapat menjadi
simbol pelayanan publik karena Erry Nuradi melalui salah satu program kerjanya
meluncurkan Sistem Pelayanan Perizinan Terpadu Efektif dan Efesien (Simpel
Paten) sebagai usaha dalam meningkatkan pelayanan publik, namun dalam sudut
padang politik “Paten” juga diartikan sebagai “Pak Tengku Erry Nuradi” yang
merupakan singkatan namanya agar lebih mudah didengar (easy listening) oleh semua kalangan masyarakat, sungguhpun kita
tidak mengetahui secara pasti apakah ini merupakah suatu kebetulan atau
didesain sedemikian rupa dalam kepentingan pemilihan Gubernur Sumut tahun 2018
mendatang.
Dalam
tulisan ini saya mencoba menganalisis wacana ‘Sumut Paten” dalam pendekatan
analisis wacana kritis (critical
discourse analysis) dengan prinsip objektif agar menjadi kerangka berfikir
dalam diskusi-diskusi politik yang semakin hangat menjelang pemilihan kepala
daerah di Sumatera Utara tahun 2017. Sumut Paten tidak hanya dimaknai sebagai
jargon politik namun harus di benturkan dalam kehidupan sosial, budaya,
pelayanan publik, bebas korupsi dan pungli, pendidikan dan lain-lain, yang saat
ini menjadi isu-isu yang hangat diperbincangkan masyarakat Sumatera Utara.
Kata
“Paten” menjadi kata yang mudah untuk didengar, karena sesungguhnya arus
“Modernisasi” dan “Perkotaan” sudah mulai kehilangan kata paten tersebut,
sontak beberapa rekan ketika mendengar kata paten, yang dibayangkan mereka
adalah percakapan dalam kehidupan zaman dahulu yang umumnya dipusatkan pada
kawasan pedesaan dan perkampungan yang jauh dari hiruk pikuk keributan. Padanan
kata paten dimaknai sebagai kata yang serupa dengan bagus, baik dan sebagai
bentuk ungkapan perasaan kepada orang lain, tak heran dalam simbol gerak tangan
(hand gesture) paten disimbolkan
dengan sikap mengangkat tangan dengan jempol keatas. Sikap ini juga selalu
ditunjukkan oleh gubernur Sumut dalam acara-acara nya yang diakhiri dengan sesi
foto bersama.
Gubernur
Sumatera Utara, HT Erry Nuradi bisa jadi belum menjadi gubernur yang diidolakan
masyarakat, karena masyarakat Sumut tentunya masih mempunyai ingatan yang jelas
terhadap jejak rekam Gubernur Sumut sebelumnya yang berakhir di penjara, yakni
Syamsul Arifin dan Gatot Pujo Nugroho dalam skandal korupsi, alih-alih terbebas
dalam wacana korupsi, Erry Nuradi juga disebut-sebut masuk dalam pusarat
korupsi kendati hingga saat ini belum ada ditemukan indikasi tersebut, meskipun
beberapa kali istrinya menjadi saksi kasus kurupsi.
Analisa Wacana Kritis
Jargon
politik “Sumut Paten” dalam menafsiran analisa wacana kritis bisa menjadi
wacana untuk mengenyampingkan bahkan melupakan sejenak kasus-kasus korupsi yang
ada di Sumatera Utara. Tentunya Erry Nuradi berharap gagasan “Sumut paten”
menjadi simbol politik agar kepemimpinannya dalam berjalan terus dan dibawah
kepemimpinannya Sumut menjadi propinsi yang lebih unggul dalam segala sektor
dibandingkan propinsi lainnya.
“Sumut
Paten” sebenarnya dapat disandingkan dengan jargon politik Presiden RI, Joko
Widodo dengan istilah “Revolusi Mental”. Mengutip kaca mata Gramsci, revolusi
mental melibatkan proses kesadaran yang
melibatkan hegemoni kekuasaan. Kesadaran masyarakat yang kritis
mengangkat orang yang sederhana ambil bagian dalam hegemoni. Revolusi mental
sebagai bentuk kesadaran kritis dalam memperjuangkan dan memenangkan hegemoni
politik, menyelamatkan konsensus serta perjuangan untuk mendapatkan hati dan
pikiran rakyat. Artinya, Gramsci dalam pandangan tersebut mengandaikan adanya
perkembangan perubahan kesadaran kelas sosial dan gerakan sosial dengan
mengandalkan para peran intelektual organis dan kesadaran kritis untuk sampai
ke tahap hegemoni.
Dalam
konteks yang sederhana, “Sumut Paten” belum dapat menunjukkan gagasan wacana
yang membangun kesadaran kritis bahwa sosok Erry Nuradi dapat membawa Sumut
lebih unggul, karena keberhasilan Sumut dengan kabupaten/kota boleh jadi juga
hasil kerja payah Walikota dan Bupati yang ada di Sumatera Utara. Namun melalui
“Sumut Paten”, Erry Nuradi mampu memanfaatkan moment tersebut dalam keunggulan
infrastruktur yang saat ini banyak di Sumut contohnya jalan tol Medan-Tebing
bahkan rencana membuat jalan Tol Medan- Berastagi juga sudah terwacanakan
dengan baik, mendapatkan sambutan yang positif dan sangat ditunggu-tunggu
masyarakat, kendati demikian jika dilihat secara wacana kritis, proyek
infrastruktur tersebut juga tidak terlepas dari political will pemerintah pusat.
Mengambil
pandangan Pierre Bourdieu dengan konsep habitus,
maka Erry Nuradi saat ini memiliki dan menguasai infrastruktur birokrasi,
akses ke pemerintah pusat serta posisinya juga sebagai ketua Dewan Pimpinan
Wilayah (DPW) partai NasDem Sumut membuat geraknya menjadi lebih leluasa dan
percaya diri untuk memimpin Sumut kembali. Dalam analisi simbol-simbol gambaran
Sumut Paten juga dicitrakan dengan konsep dominasi berwarna biru yang secara
politik menunjukkan identitas partai politik yang ia pimpin hingga saat ini.
Dalam
website resmi www.sumutpaten.com yang
banyak menampilkan aktivitas kedinasannya, salah satunya yang dapat dianalisi
yakni pemberitaan tentang pejabat eselon 2 yang dilantik olehnya pada hari
Senin, 10 April 2016 di kantor Gubernur Sumut. Dalam penegasan teks pemberitaan
yang menjadi judul berita tersebut, Erry Nuradi berpesan kepada SKPD yang baru
dilantik untuk “jangan mempermalukan instansi, jangan berbuat tercela, jangan
KKN”. Dalam analisa kritis teks dan konteks dalam redaksi tersebut menjelaskan bahwa
sebelum pelantikan, SKPD Pempropsu yakni kepala Dinas Pertambangan dan
Energi (Distamben) masuk dalam operasi
tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh Tim Saber Pungli Polda Sumut. Kejadian
ini justru mengganggu wacana pelayanan publik yang bebas korupsi, dan pungli
yang menjadi isu utama di Sumut, maka dalam kesempatan momen pelantikan SKPD
tersebut, wacana agar SKPD yang dilantik harus menjankan amanah dengan
sebaik-baiknya dan tidak melakukan tindakan yang dapat mencorong sebuah simbol
pelayanan publik di Sumut dengan praktik-praktik korupsi dan pungli.
Tentunya
jargon sumut paten sebagai jargon politik dan simbol pelayanan publik menjadi
wacana untuk memperoleh simpati dan perhatian masyarakat, namun dalam konteks
pendidikan politik, tentunya masyarakat Sumut akan banyak belajar dalam
penilaian kepala daerah baik itu dalam kondisi yang saat ini berjalan maupun
yang akan datang dalam menghadapi momen-momen politik. Harapan dalam analisa
wacana kritis ini dapat membangun kerangka berfikir dan kesadaran yang kritis
untuk membangun Sumut yang lebih baik tidak hanya sebatas jargon politik namun
menjadi fakta sosial. (tulisan ini sudah dimuat di Harian Sindo)